Sukses

OPINI: Cegah Penyelewengan dengan e-Government Hybrid Cloud

Liputan6.com, Jakarta - Di Indonesia sering sekali terjadi Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) menemukan ketidakwajaran dalam suatu proses pengadaan barang. Salah satu contoh yang masih berlangsung saat ini adalah kasus BPK menemukan beberapa kejanggalan dalam pembelian lahan Rumah Sakit Sumber Waras oleh Pemerintah Provinsi Daerah Khusus Ibu Kota (Pemprov DKI).

Kasus ini menuai banyak kontroversi. Padahal rencana pembelian ini juga sudah disetujui Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) DKI. Jadi siapa yang salah? Dapatkah teknologi mencegah hal-hal semacam ini terjadi lagi di masa yang akan datang?

Berikut ini adalah ringkasan dari banyaknya berita yang beredar hingga tulisan ini dibuat.

1. BPK menilai pembelian lahan tidak wajar karena melalui pembayaran tunai sebesar Rp 755,69 miliar, yang dilakukan mendadak pada pukul 19:00 WIB tanggal 31 Desember 2014. Pernyataan ini menuai berbagai spekulasi. Seorang ekonom senior bahkan sempat menghitung, jika pembayaran tunai dilakukan memakai uang pecahan Rp 100 ribu, total berat uangnya adalah 7,5 ton, belum termasuk bungkus dan brankasnya.

Namun kemudian muncul klarifikasi bahwa pembayaran dilakukan menggunakan cek dan transfer antarrekening di Bank DKI pada tanggal 31 Desember 2014. Karena dilakukan hanya melalui pindah buku di Bank DKI, waktu transaksi tidak terikat waktu operasional Bank dan masih bisa dilakukan di tahun anggaran 2014, karena tahun anggaran baru berakhir pukul 23:59.

2. BPK menilai proses pembelian itu tidak sesuai dengan prosedur. Pemprov DKI membeli dengan harga lebih mahal dari seharusnya, sehingga mengakibatkan kerugian negara sebesar Rp 191 miliar.

Di bawah ini adalah informasi yang saya ambil dari http://peta.bpn.go.id pada pagi hari 1 Mei 2016. Terlihat bahwa RS Sumber Waras terdiri dari 3 bagian: A, B, dan C. Pemprov DKI membeli bagian C, dan menurut peta ini bagian A, B, dan C berada di dalam satu Zona Nilai Tanah dengan NJOP berkisar antara Rp 10-20 juta.

Area Rumah Sakit Sumber Waras di Peta Online BPN. Kredit: BPN via Tony Seno Hartono

Karena posisi lahan C menempel ke Jalan Tomang Utara, BPK mengatakan seharusnya menggunakan NJOP Jalan Tomang Utara sebesar Rp 7 juta per meter persegi. Sementara dalam pembelian ini Pemprov DKI menggunakan acuan harga NJOP Jalan Kyai Tapa sebesar Rp 20,7 juta per meter persegi, sehingga BPK mengatakan negara telah dirugikan.

Namun, pernyataan BPK ditentang oleh Kepala Badan Pertanahan Nasional (BPN) yang juga diperkuat oleh Dirjen Pajak Kementerian Keuangan, yang mengatakan bahwa lahan C memang menggunakan NJOP Jalan Kyai Tapa.

Terlihat di sini ada pertentangan antara BPK vs Pemprov DPKI, BPN, dan Dirjen Pajak. Padahal, untuk urusan pertanahan dan pajak (NJOP) di Indonesia, hanya BPN dan Dirjen Pajak yang menjadi acuan.

Sampai tulisan ini dibuat, kasus pembelian lahan RS Sumber Waras masih belum selesai.

Mari kita lihat bagaimana permasalahan ini sampai terjadi dan apakah teknologi bisa mencegah permasalahan-permasalahan seperti ini terjadi lagi di masa depan.

Jika kita cermati, permasalahan ini terjadi karena tata kelola pemerintahan yang kurang efektif yang menyebabkan:

1. Ketidakjelasan prosedur – Meski perencanaan sudah disetujui DPRD, transaksi terjadi di dalam tahun anggaran, NJOP sudah diklarifikasi BPN dan Dirjen Pajak Kementerian Keuangan, namun BPK masih mengatakan ada indikasi kesalahan prosedur yang merugikan negara.

2. Kurangnya keterbukaan – Informasi mengenai rencana jangka panjang pemerintah, urgensi membeli lahan, dan sebagainya tidak banyak diketahui masyarakat, sampai masalah ini mencuat.

Pencarian berita seputar masalah ini tidak pernah memunculkan sumber berita dari situs pemerintah dengan domain go.id, melainkan dari berita-berita media yang membuat simpang siur.

3. Kurangnya detail informasi – DPRD dari awal sudah menyetujui pembelian lahan ini, namun DPRD menilai eksekusi pembelian lahan bermasalah di lokasi dan NJOP yang berbeda dari pemahaman DPRD pada saat pemberian persetujuan.


e-Government

Salah satu cara untuk meminimalkan permasalahan-permasalahan seputar prosedur, keterbukaan, dan akses informasi adalah dengan memberdayagunakan tata kelola pemerintahan menggunakan Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK) atau disebut juga e-Government.

Secara umum e-Government didefinisikan sebagai penggunaan TIK di pemerintahan untuk meningkatkan layanan kepada masyarakat, bisnis, dan lembaga pemerintahan lain. e-Government memungkinkan masyarakat untuk berinteraksi dan menerima layanan dari pemerintahan pusat maupun daerah selama 24 jam sehari dan 7 hari dalam sepekan.

Penerapan e-Government yang baik bisa diharapkan untuk mendapatkan pemerintahan yang:

1. Bersih, Efektif, dan Efisien – Pemerintah memiliki prosedur-prosedur standar yang jelas dan tidak memiliki celah untuk dilanggar.

2. Transparan – Pemerintah bersifat transparan. Indonesia sudah memiliki Undang-Undang No 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik (UU KIP). Undang-undang ini mengharuskan semua informasi dari penyelenggaraan negara, badan publik, dan segala sesuatu yang berakibat pada kepentingan publik, untuk terbuka.

3. Keterlibatan masyarakat yang tinggi dan berdaya guna – Masyarakat memiliki akses informasi yang lengkap dan diberdayakan, sehingga bisa berpartisipasi di dalam pemerintahan.


Strategi e-Government

e-Government bisa dimanfaatkan untuk menekan terjadinya penyelewengan dan korupsi. Namun dibutuhkan strategi yang tepat. Menurut PBB, ada 4 strategi yang perlu diterapkan:

1. Pencegahan – Aplikasi-aplikasi e-Government harus dibuat untuk menyederhanakan aturan-aturan dan prosedur, serta mengubah proses dan sistem. Penggunaan komputer dan transaksi online menghilangkan peluang orang untuk menjadi calo, menghilangkan ketergantungan pada orang-orang tertentu, menstandarkan layanan, menghilangkan kemungkinan penyalahgunaan kebijakan, menghilangkan daerah abu-abu, dan menyingkirkan celah-celah untuk korupsi.

2. Pelaksanaan – Komputerisasi alur kerja memungkinkan untuk melacak seluruh keputusan dan aksi, juga sangat efektif untuk mencegah korupsi. Data bisa dipusatkan, sehingga proses audit bisa dilakukan tanpa bias (atau dalam kasus RS Sumber Waras adalah perbedaan referensi)

3. Akses terhadap Informasi dan Pemberdayaan – Informasi pemerintahan yang dipublikasikan secara online akan memudahkan siapa pun yang ingin mengumpulkan data-data lengkap, dan masyarakat bisa diberdayakan untuk melaporkan semua kecurigaan terhadap suatu penyelewengan secara aman.

4. Pembangunan Kapasitas:
a. Infrastruktur telekomunikasi harus diperkuat, kalau perlu, manfaatkan teknologi-teknologi baru seperti TVWS (TV White Spaces) untuk memberikan akses internet murah sampai seluruh pelosok.
b. Peningkatan pemahaman TIK sumber daya manusianya.
c. Pembangunan kultur tata kelola yang baik.


Studi Kasus di Korea Selatan

Pada tahun 1998 Wali Kota Seoul, Korea Selatan, menggalakkan program antikorupsi bernama Peningkatan Prosedur Online untuk Aplikasi Sipil (OPEN). OPEN membuka prosedur pemerintahan ke masyarakat.

Proyek ini terkenal sebagai komitmen transparansi yang berhasil menekan korupsi. Sebuah tim menganalisis seluruh aplikasi perizinan dan persetujuan sipil, dan menemukan 26 kategori aplikasi-aplikasi sipil yang paling banyak menyebabkan penyimpangan dan ketidaknyamanan bagi warga.

Tim pengembang kemudian mempublikasikan detail pada portal web OPEN. Untuk setiap kategori, web OPEN memberikan informasi tentang prosedur dan kontak, sehingga warga bisa memantau aplikasi dan melaporkan, jika terlihat adanya penyimpangan.

Contoh aplikasinya adalah pemeriksaan dan izin bangunan, persetujuan dan sanksi tempat-tempat hiburan, dan keputusan dan perubahan pengembangan kota.

Sebanyak 5.000 karyawan di 485 departemen kota yang berhubungan dengan aplikasi dilatih untuk mengoperasikan sistem, serta menambah dan mengubah data. Setelah pelatihan, karyawan diberi username dan password untuk bekerja.

Setelah satu tahun OPEN beroperasi, survei divisi inspeksi dan audit pemerintah kota setempat menunjukkan hasil sangat positif. Jumlah pengunjung ke OPEN mencapai 648.000 (dan jumlah ini meningkat menjadi hampir 2 kali lipat pada tanggal 1 Januari 2001).

Jumlah kategori aplikasi sipil juga meningkat dari 26 ke 54. Jika sebelumnya dilaporkan ada 83 praktik korupsi oleh pegawai negeri sipil sebelum adanya OPEN, setelah OPEN hadir, sudah tidak ada lagi praktik korupsi yang ditemui.

Salah satu kunci keberhasilan OPEN adalah penyederhanaan regulasi dan prosedur, perubahan cara kerja, transparansi prosedur, komunikasi efektif dengan warga, dan pelatihan. Teknologi hanya digunakan sebagai alat. Namun, leadership yang kuat dari Wali Kota dan partisipasi warga memegang peranan terpenting selama implementasi.

 

Studi Kasus di India

Di India pernah diadakan sebuah proyek digitalisasi catatan pertanahan online untuk petani di Karnataka, India. Sebelum proyek ini, diperkirakan ada 9.000 akuntan desa, yang masing-masing melayani 3-4 desa dan menyimpan catatan tanah di Karnataka.

Catatan ini tertutup dan petani harus menyuap para akuntan untuk mendapatkan salinan sertifikat RTC (Hak, Sewa, Tanam) yang bisa dipergunakan untuk peminjaman ke Bank, atau mempercepat proses catatan jual-beli atau warisan tanah yang bisa memakan waktu pemrosesan 1-2 tahun, padahal resminya maksimal hanya 30 hari.

Proyek ini kemudian mengomputerisasi 20 juta catatan tanah yang didapatkan oleh akuntan desa. Sekarang salinan sertifikat bisa didapatkan oleh siapa pun dengan murah pada setiap kios online di 180 kantor pedesaan.

Ketika hak milik berganti karena tanah dijual atau diwariskan, petani-petani juga bisa mengubahnya di kios. Semua permintaan akan diproses sesuai urutan.

Setiap permintaan juga akan diberi nomor, sehingga petani bisa mengetahui sudah sampai mana prosesnya melalui layar komputer di kios, atau bertanya ke petugasnya. Waktu proses 1-2 tahun dipangkas menjadi 30 hari atau kurang.

Selain itu, proyek ini juga melibatkan pelatihan-pelatihan peningkatan sumber daya manusia, dan berhasil melatih 9.000 petugas desa dan 1.000 pengawas keuangan. Masyarakat berpartisipasi untuk memastikan keberhasilan proyek. Dan yang terpenting adalah, terlihat dari hasil evaluasi independen bahwa suap-menyuap berhasil dikurangi secara sangat signifikan.


e-Government di Indonesia

Pemerintah Indonesia sudah lama mencoba menerapkan e-Government, namun sampai saat ini penerapannya masih jauh tertinggal, jika dibandingkan dengan negara-negara lain. Sampai saat ini juga belum ada kenaikan peringkat yang signifikan dalam skala global.

Menurut survei PBB yang berjudul e-Government Survey 2014, Indonesia berada di peringkat 106 dari 193 negara di dunia soal penerapan e-Government.

Ada beberapa kendala penerapan e-Government di Indonesia, antara lain:

1. Langkanya SDM andal – Teknologi informasi merupakan sebuah bidang baru. Pemerintah umumnya kurang memiliki SDM andal di bidang TIK. SDM andal ini sebagian besar malah ada di lingkungan industri/bisnis.

2. Ketiadaan fokus pemerintah untuk membuat layanan e-Government berkualitas dan tersertifikasi perlindungan keamanan dan privasi (ISO 27001 dan ISO 27018). Ini terlihat dari sering jebolnya situs-situs e-Government di Indonesia, terutama oleh hackers yang tidak puas dengan pemerintah.

3. Tidak ada standar aplikasi e-Government – Hal ini disebabkan adanya otonomi daerah, sehingga setiap daerah bisa membuat aplikasi sendiri-sendiri yang tidak bisa diintegrasikan dengan aplikasi sama/serupa di daerah lain.


e-Government Berbasiskan Cloud Computing (Komputasi Awan)

Melihat adanya 3 kendala di atas, sebenarnya komputasi awan bisa digunakan untuk menjawab seluruh kendala itu.

1. Kelangkaan SDM andal bisa diatasi melalui penerapan e-Government yang terpusat di pusat data penyedia cloud. Pelayanan terpusat akan membuat manajemen e-Government sangat mudah, dan hanya diperlukan SDM yang berjumlah sedikit untuk mendukung pengoperasian di seluruh Indonesia. SDM dengan skill tinggi diletakkan di kantor pusat (ibu kota), sedangkan SDM dengan skill lebih rendah yang lebih mudah dicari, bisa disebarkan ke ibu kota provinsi.

2.  Keamanan pusat data e-Government bisa dijaga dengan baik dengan cara memilih penyedia cloud yang memiliki sertifikasi ISO 27001 dan ISO 27018 untuk memastikan keamanan dan privasi data, dan aplikasi e-Government dikembangkan menggunakan panduan standar ISO 27034 (keamanan aplikasi).

3. Untuk memastikan aplikasi dan data saling interoperable, dibutuhkan aplikasi yang paling umum dipakai, yang harus distandarkan dan diletakkan di cloud. Sementara aplikasi spesifik boleh ditaruh di pusat data sendiri, atau di private cloud.

4. Gunakan public cloud untuk menyimpan dan mengolah informasi publik (dalam konteks UU KIP). Public cloud adalah layanan cloud yang ditujukan bagi publik, keunggulan utamanya adalah harga sangat terjangkau dan memiliki jangkauan global ke seluruh dunia. Dengan karakteristik orang Indonesia yang senang terhubung melalui jejaring sosial (Facebook, Twitter, dan sebagainya), public cloud menjadi layanan terbaik untuk G2C dan G2B.

5. Gunakan private cloud atau on-premise untuk menyimpan dan mengolah informasi bukan publik atau rahasia (dalam konteks UU KIP). Private cloud merupakan layanan cloud yang dioperasikan sendiri oleh lembaga pemerintah, atau melalui outsourcing. Dari sisi pusat data, private cloud bisa memiliki pusat data di dalam atau di luar organisasi, termasuk di luar negeri.

Ilustrasi Transparansi Informasi. Kredit: Tony Seno Hartono

Arsitektur Hybrid Cloud untuk e-Government
Pemanfaatan cloud untuk e-Government ini juga memerlukan suatu arsitektur yang menggabungkan public cloud dengan private cloud, atau disebut juga sebagai Hybrid Cloud:

Ilustrasi arsitektur hybrid cloud untuk e-Government versi sederhana - Kredit: Tony Seno Hartono

Gambar di atas merupakan penyederhanaan arsitektur hybrid cloud untuk e-Government. Solusi-solusi internal G2G diletakkan di private cloud, sementara solusi eksternal G2C dan G2B bisa diletakkan di public cloud.

Untuk memfasilitasi interoperabilitas, setiap lembaga negara dihubungkan melalui sebuah National Service Bus. Setelah itu aplikasi-aplikasi G2C dan G2B bisa diletakkan di public cloud yang terhubung ke internet, sehingga seluruh warga dan pelaku bisnis bisa berhubungan dengan pemerintah secara mudah.


Keuntungan Adopsi Hybrid Cloud untuk e-Government

Jika kita kembalikan ke contoh kasus pembelian lahan RS Sumber Waras, ada beberapa keuntungan didapatkan melalui penerapan teknologi hybrid cloud:

1. Cloud mampu menampung data yang sangat besar dan memprosesnya dengan sangat cepat. Karena itu, cloud mampu menganalisis semua data tersebut dan mendeteksi indikasi-indikasi penyelewengan sebelum terjadi. Indikasi-indikasi akan ditampilkan ke dalam bentuk dashboard Early Warning System yang memberikan alarm kepada lembaga terkait mengenai indikasi-indikasi penyelewengan, sehingga penyelewengan bisa dihindarkan, dan lembaga bisa lulus WTP (Wajar Tanpa Pengecualian) dari setiap audit BPK

2. Seluruh data yang relevan terhadap sertifikat tanah, NJOP, zona nilai tanah, dan sebagainya bisa diletakkan di dalam cloud dan data hanya bisa diakses oleh orang yang berhak. Misalnya, auditor BPK bisa mengakses informasi transaksi lebih dalam daripada orang lain. Sementara masyarakat juga bisa mengakses berbagai informasi publik. Cloud memungkinkan BPN menjadi satu-satunya acuan mengenai sertifikat tanah, dan Dirjen Pajak menjadi acuan untuk NJOP. Semuanya mengacu ke sumber data yang sama, sehingga tidak akan terjadi salah acuan yang menyebabkan polemik.

3. Cloud memungkinkan pemerintah untuk meletakkan mesin pencari khusus untuk mencari berbagai informasi terkait dengan pemerintah, sehingga siapa pun yang mencari informasi seputar kasus RS Sumber Waras, orang itu bisa diarahkan ke situs pemerintah, dan pemerintah bisa menyediakan informasi lengkap dan tidak menyesatkan.

4. Karena di Indonesia belum ada keharusan bagi pemerintah untuk patuh pada sertifikasi keamanan dan privasi ISO 27001 (Manajemen Informasi Keamanan), ISO 27018 (Perlindungan Data Pribadi), dan ISO 27034 (Keamanan Aplikasi), sampai saat ini masih ada banyak situs e-Government diretas. Teknologi hybrid cloud dengan sertifikasi ISO 27001 dan ISO 27018, dan pengembangan aplikasi berbasis ISO 27034, membantu pemerintah untuk memiliki layanan e-Government yang kuat dan aman. Situs-situs penting seperti BPN, Dirjen Pajak, dan sebagainya bisa menjadi situs-situs tepercaya yang selalu menjadi acuan. Jika hal ini dilakukan, dalam beberapa tahun ke depan tidak ada lagi kasus-kasus sertifikat ganda, manipulasi nilai NJOP, dan sebagainya.

5. Teknologi cloud masa kini juga memungkinkan layanan jauh lebih cepat diakses, meski data diletakkan di luar negeri. Sebab, teknologi cloud sebenarnya bisa memanfaatkan ribuan servers kecil (milik berbagai penyedia layanan yang beroperasi di Indonesia) yang tersebar di seluruh Indonesia.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

Video Terkini