Sukses

Ada Mispersepsi Soal Biaya Interkoneksi dan Tarif Seluler

Ada mispersepsi yang berkembang di masyarakat tentang biaya interkoneksi dan tarif seluler.

Liputan6.com, Jakarta - Menteri Komunikasi dan Informatika (Menkominfo) dianggap salah melangkah dalam membangun ekosistem industri telekomunikasi yang sehat, jika memaksakan penurunan biaya interkoneksi yang tak sesuai dengan recovery cost dari pelaku usaha.

“Saya kasih saran ke Pak Rudiantara (Menkominfo) soal keinginan menurunkan tarif seluler. Minta operator kurangi promosi tarif Rp 0 atau harga tak rasional yang biasanya ada ketika menawarkan kartu perdana baru, kurangi promosi yang tak efektif, dan minta marjin diturunkan sedikit. Baru tarif seluler turun,” tegas Sekjen Pusat Kajian Kebijakan dan Regulasi Telekomunikasi ITB M Ridwan Effendi, Senin (29/8/2016) di Jakarta.

Melalui keterangan tertulisnya, Ridwan menganggap ada mispersepsi (salah penanggapan) yang berkembang di masyarakat tentang biaya interkoneksi dan tarif seluler.

“Biaya interkoneksi hanya 15% menyumbang tarif interkoneksi. Artinya, komponen lain lebih besar yakni biaya aktivasi (termasuk promosi) dan marjin keuntungan. Maka dari itu, isu ini menjadi gagal paham di ruang publik,” tukasnya.

Ridwan menyarankan agar regulator jangan merancukan isu biaya interkoneksi dengan penetapan tarif pungut ke pelanggan.

“Penetapan biaya interkoneksi yang asimetris itu hak perusahaan, ini murni urusan perusahaan dengan perusahaan. Kalau tarif ritel mau murah saya sepakat, itu hak masyarakat untuk dapat tarif yang reliable dan terjangkau. Tapi kalau caranya melabrak semua pakem, ini sudah tak demokrasi lagi namanya,” tegasnya.

Ridwan memaparkan, network size dari masing-masing operator berbeda sehingga itu tercermin dari recovery cost yang dijabarkan saat Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) dengan Komisi I  pada 25 Agustus 2016.

Saat itu diungkapkan bahwa cost recovery dari XL sebesar Rp 65/menit, Indosat  Rp 87/menit, Tri Indonesia Rp 120/menit, dan Telkomsel Rp 285/menit.

“Kemkominfo harus mengapresiasi pembangunan jaringan yang dilakukan Telkom Group selama ini, di mana melebihi lisensi yang dimiliki. Terlihat dengan hadirnya BTS milik Telkomsel hingga ke pelosok dan harus menanggung rugi pula dari pengoperasiannya,” imbuhnya.

Untuk diketahui, industri telekomunikasi tengah menunggu keputusan strategis yang akan diambil Menkominfo Rudiantara terkait penetapan biaya interkoneksi pasca-keluarnya Surat edaran dengan nomor 1153/M.KOMINFO/PI.0204/08/2016 yang ditandatangani Plt Direktur Jenderal Penyelenggaraan Pos dan Informatika, Geryantika Kurnia tentang biaya interkoneksi.

Keputusan akan diambil usai Rudiantara mengumpulkan semua petinggi operator pada hari ini, Senin (29/8/2016), dan berikutnya melakukan Rapat Kerja dengan Komisi I DPR pada minggu ini. 
​Ketua Federasi Serikat Pekerja BUMN Strategis Wisnu Adhi Wuryanto (kiri) dan Bidang Hubungan Antara Lembaga Sekar Telkom Dasrizal (kanan) di Bandung, Minggu (28/8/2016). (Liputan6.com/ Muhammad Sufyan Abdurrahman)
Sebelumnya, Federasi Serikat Pekerja BUMN Strategis berencana melaporkan Kebijakan Menkominfo tentang penurunan tarif interkoneksi dari Rp 285 ke Rp 204.

Kebijakan tersebut akan dilaporkan ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK).

Sebab, seperti dikatakan Ketua Federasi Serikat Pekerja BUMN Strategis Wisnu Adhi Wuryanto, kebijakan tersebut sangat berpotensi menciptakan potensi kerugian negara (potential loss) signifikan yakni sekitar Rp 800 miliar.

(Isk/Cas)

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

Video Terkini