Sukses

Instagram Luncurkan Fitur Pencegah Bunuh Diri

Karena banyaknya indikasi postingan pengguna yang ingin bunuh diri, Instagram merilis tools khusus pencegah bunuh diri.

Liputan6.com, California - Tak sedikit kasus bunuh diri terindikasi dari unggahan pengguna media sosial (medsos). Sebut saja Instagram.

Mengingat Instagram merupakan platform berbagi foto dan video, pengguna justru lebih 'bebas' mengekspresikan rasa kesedihan dan depresinya lewat foto atau video yang mereka unggah.

Untuk mengantisipasi hal ini tak 'menyebar' ke pengguna lain, jejaring sosial milik Facebook tersebut akhirnya memutuskan merilis fitur pencegah bunuh diri.

Cara kerja fitur ini juga mudah. Sebagaimana dimuat di laman Engadget, Jumat (21/10/2016), pengguna hanya perlu melaporkan postingan yang berbau tindakan bunuh diri.

Setelah itu, pihak Instagram akan segera menindaklanjuti akun yang bersangkutan.

"Kami paham bahwa teman-teman dan keluarga ingin menawarkan dukungan kepada mereka (pihak yang ingin bunuh diri) namun seringkali tidak tahu caranya bagaimana," kata COO Instagram Marne Levine.

Kehadiran tools terbaru ini, lanjut Levine, diharapkan dapat membuat pengguna yang hendak bunuh diri, sadar bahwa mereka tidak sendiri.

"Fitur ini dirancang untuk membuatmu tahu bahwa kamu tak sendiri, kamu dikelilingi teman-teman, keluarga, komunitas yang peduli denganmu," sambungnya.

Tak sendiri, Instagram juga bekerjasama dengan beberapa psikolog dan pakar kesehatan mental untuk menangani pengguna yang 'bermasalah' dengan hidupnya.

Tujuannya, agar pengguna tak memikirkan hal-hal yang berbau dengan bunuh diri dan menjadikan Instagram sebagai alat yang positif untuk berbagi.

Penggunaan medsos sebetulnya dinilai dapat memicu depresi. Alih-alih mencurahkan isi hati, efek dari medsos sudah bergerak ke arah kompetisi memenangkan suatu popularitas.

Mark Widdowson, salah seorang pengamat psikologi remaja yang juga turut andil dalam sebuah studi mengatakan, kompetisi tersebut muncul dari peer pressure pengguna lain yang ada di media sosial.

"Konten yang dimuat bisa saja berupa foto atau video yang memperlihatkan kehingarbingaran pesta, gaya hidup, kuliner atau membahas isu sensitif. Di saat pengguna media sosial melihatnya, sentimen yang didapat bisa negatif. Hal tersebut disebabkan karena pengguna itu tidak dalam taraf yang sama dengan konten yang dimuat," tuturnya.

Widdowson yang juga merupakan dosen di University of Salford ini menerapkan bahwa pengguna media sosial seharusnya merefleksikan diri bahwa 'alat' yang mereka gunakan bukanlah cerminan yang harus ditiru.

"Media sosial merupakan sebuah opsi yang hanya memiliki nilai untuk berkomunikasi dengan teman terdekat Anda. Itu saja kuncinya. Jangan dilebih-lebihkan," tutupnya.

(Jek/Cas)

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.