Sukses

Revisi UU ITE Belum Sentuh Akar Masalah di Pasal Karet

Meskipun ada revisi di UU ITE, menurut pegiat Forum Komunikasi Digital, perubahan yang dilakukan tak mampu menyentuh substansif persoalan

Liputan6.com, Jakarta - Kasus Yusniar yang menghebohkan dunia maya kembali menarik perhatian publik mengenai Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE). Alasannya, UU ITE yang baru saja direvisi dianggap masih mengandung pasal karet, utamanya pasal 27 ayat 3.

Sebagian pihak menyayangkan keputusan pemerintah yang tak melakukan perubahan mendasar. Salah satunya adalah pegiat Forum Komunikasi Digital, Damar Juniarto. Menurut Damar, pengurangan hukuman yang dilakukan tak benar-benar menjamin perubahan substansi.

"Cukupkah dengan pengurangan hukuman pidana? Toh pada kenyataannya, bagi korban yang sebenarnya tak bersalah, dipenjara sehari pun mereka tidak mau karena tidak bersalah," ujar Damar saat dihubungi Tekno Liputan6.com, Selasa (8/11/2016).

Sekadar informasi, ketika ditemui di Bali beberapa waktu lalu, Menteri Komunikasi dan Informatika sempat mengungkapkan alasan pasal 27 ayat 3 di UU ITE hanya mengalami sedikit perubahan.

"(Kalau pasal penghinaan atau pencemaran nama baik dihilangkan) dijelek-jelekin mau? Permasalahannya adalah multitafsir. Jika melanggar pasal 27 ayat 3, ancaman hukuman 6 tahun. Mereka perlu pemeriksaan dan sebagainya, bisa ditangkap dahulu. Makanya, ada 200 lebih kasus Prita," kata pria yang akrab disapa Chief RA tersebut. 

Oleh sebab itu, agar tidak terjadi kasus serupa termasuk multitafsir, ancaman hukuman pada aturan itu diturunkan dari maksimal 6 tahun menjadi 4 tahun. Selain itu, denda hukuman juga diturunkan dari paling banyak Rp 1 miliar menjadi Rp 750 juta.

Jadi, melalui perubahan ini, harus ada proses dan bukti terlebih dulu sebelum dilakukan penangkapan. Selain itu, diharapkan tak ada lagi multitafsir maupun penyalahgunaan. 

Namun, menurut Damar, perubahan di pasal itu masih belum cukup karena hanya sekadar perbaikan "minimalis" dan seadanya, terutama tidak menyentuh akar persoalan.

"Persoalannya adalah pengekangan dan represi, tapi kemudian direduksi menjadi persoalan lama hukuman. Artinya apa?" tutur pria yang juga merupakan Regional Coordinator Southeast Asia Freedom of Expression Network (SAFEnet). 

Maka dari itu, ia menuturkan hasil revisi UU ITE tak memberi kepastian hukum dan rasa keadilan bagi mereka yang dijerat oleh UU ITE.

Sebagai informasi, pengesahan revisi UU ITE dilakukan oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) pada 27 Oktober 2016. Pengesahan dilakukan setelah pembahasan RUU Tingkat I telah diselesaikan pada 20 Oktober. 

(Dam/Why)

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.