Sukses

OPINI: Asia Terus Dominasi Dunia Aplikasi

Aplikasi merupakan bagian utama dari setiap engagement dan inovasi yang terjadi saat ini.

Liputan6.com, Jakarta - Sekitar sepuluh tahun lalu, Apple iPhone diperkenalkan. Ponsel cerdas tersebut telah merevolusi dunia tanpa banyak yang bisa menduga sebelumnya, termasuk kehadiran ekosistem berbasis aplikasi.

Sama seperti iPhone X yang sangat diminati, banyak hal yang telah berubah dalam hal cara kita berinteraksi dengan aplikasi (seringkali disebut sebagai apps saja).

Aplikasi merupakan bagian utama dari setiap engagement dan inovasi yang terjadi saat ini. Di kawasan Asia yang sangat kompetitif dan dinamis, perangkat mobile dan smartphone telah menciptakan peluang dan pertumbuhan bisnis di ranah baru.

Faktanya, Asia terus mendominasi dunia aplikasi dengan rata-rata pengguna smartphone yang menggunakan enam aplikasi setiap harinya.

Tak terbantahkan lagi jika aplikasi telah mengubah model, operasi, dan engagement dunia bisnis, baik dalam aspek kecepatan, kecerdasan, dan keamanan untuk mendukung kesuksesan sebuah perusahaan.

Seiring dengan aplikasi yang telah menjadi norma baru, ekspektasi pun berkembang bukan hanya sebatas kontribusi dan transaksi dasar. Perubahan atau pergeseran (shifting) ini akan didorong oleh generasi milenial Asia, yang mendominasi 50 persen populasi di Asia Pasifik pada 2020.

Mereka menuntut adanya aplikasi yang real-time, intuitif, dan aman. Ketika generasi milenial Asia berkontribusi dalam ‘membentuk’ ekonomi, saat itu pula perusahaan dan brand (merek dagang) harus mengembangkan penawaran, pendekatan, dan strategi mereka untuk meningkatkan app-erience atau pengalaman penggunaan aplikasi bagi end-user.

Membangun Pondasi yang Tepat

Ketika aplikasi menjadi alat yang ampuh dalam mengubah operasional perusahaan dan melayani pelanggan, app-erience yang berkembang tersebut telah mengondisikan kita untuk mengharapkan apa yang kita inginkan.

Sebuah penelitian menunjukkan 29 persen pengguna smartphone akan segera beralih ke situs atau aplikasi lain jika kebutuhannya tidak terpenuhi. Artinya, mereka kesulitan menemukan informasi atau bisa jadi aplikasi terlalu lambat.

Karena itu, app-volution ini menciptakan serangkaian tantangan baru karena perusahaan bergantung pada jumlah aplikasi yang terus meningkat di berbagai infrastruktur yang kompleks guna memenuhi ekspektasi pelanggan yang meningkat. Fenomena ini pun membawa dampak bermunculannya para peretas yang siap melakukan serangan.

Pada 2018, perusahaan yang paling cerdas akan beroperasi dengan metode aplikasi-sentris serta membangun layanan yang seimbang antara aspek kecepatan dan keamanan demi memenuhi kepuasan para pelanggan.

Perusahaan harus menyiapkan alasan mengapa beralih aplikasi, siapa yang membutuhkan akses, apa yang mereka lakukan dengan aplikasi tersebut, dan bagaimana mereka menyediakan (dan mengamankan) aplikasi tersebut.

Menjaga Keamanan

Lonjakan aplikasi, baik dari sisi pemanfaatan maupun kuantitas, telah melewati batas antara pribadi dan profesional, mobile dan desktop, data center dan cloud.

Itu artinya, kesalahan kecil saja akan sangat mahal harganya. Baru-baru ini, kesalahan dalam proses coding sederhana mengakibatkan 180 juta pemilik smartphone berisiko mengalami pencurian data pribadi.

Saat ini, keamanan siber sangat mengkhawatirkan: perusahaan menghadapi penurunan visibilitas, konteks, dan kontrol serta peningkatan area sasaran dari penjahat dunia maya untuk melancarkan serangan.

Faktanya, area-area tersebut masih menjadi perhatian utama di dunia siber, baik potensi dan dampak ancaman terkait teknologi, di mana serangan siber merupakan lima risiko tertinggi dalam menjalankan bisnis di area tersebut.

Australia, Jepang, Malaysia, Selandia Baru, dan Singapura juga menjadi target serangan siber dengan tingkat risiko tertinggi yang menjadi perhatian dunia.

Siapa pelaku utamanya? Kurangnya transparansi di kawasan ini menyebabkan lemahnya regulasi dan penegakan cyber law oleh pihak berwenang serta rendahnya kesadaran dan investasi keamanan siber di sejumlah perusahaan.

Tahukah Anda bahwa di Hong Kong tidak ada regulasi untuk memberikan informasi secara terbuka jika terjadi pelanggaran data?

Penelitian juga menunjukkan bahwa perusahaan Asia membutuhkan waktu 1,7 kali lebih lama dibandingkan pemain global untuk menemukan pelanggaran.

Kini, sudah saatnya memikirkan kembali arsitektur keamanan tradisional untuk mulai menangani area kerentanan terbesar, yaitu aplikasi dan pengguna. Mempertahankan perimeter jaringan tidak lagi memadai serta perusahaan harus beralih ke pendekatan prediksi, deteksi, dan respons yang proaktif.

Selain itu, sudah selayaknya kita kembali ke aturan awal ‘Security Rule Zero: Thou Shalt Not Trust User Input’ atau Anda Seharusnya Tidak Mempercayai Masukan dari para Pengguna.

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 2 halaman

Akuntabilitas dan Kepatuhan Internal

Tahukah Anda bahwa ancaman cybersecurity terbesar justru ada di dalam perusahaan itu sendiri? Menurut survei global dari anggota Forum Keamanan Informasi (ISF-Information Security Forum), sebagian besar celah keamanan jaringan yang memberi akses bagi penjahat siber sebenarnya terjadi bukan karena unsur kesengajaan karyawan.

Dengan kata lain, mereka tidak berniat untuk melukai atasannya. Penipuan atau scam Business Email Compromise (BCE) berkembang dengan pesat dan menghasilkan kerugian kumulatif sebesar US$ 3,1 miliar sejak Januari 2015.

Laporan tersebut juga menunjukkan bahwa sebagian besar transfer yang menipu, bermuara ke bank-bank Asia di China dan Hong Kong. Karena itu, sangat penting untuk mengedukasi para karyawan dalam mengidentifikasi berbagai konten berbahaya.

Mendidik karyawan tentang apa saja yang boleh dan tidak boleh dilakukan terkait keamanan siber, baik saat mengerjakan dokumen rahasia di jaringan yang aman (secured network) atau memeriksa validitas email seseorang di luar perusahaan, perlahan-lahan akan menciptakan kultur security-first yang akhirnya akan berdampak pada perlindungan perusahaan dari kerugian finansial dan reputasi.

Hal ini sangat penting karena pemerintah di kawasan Asia semakin menyadari pentingnya memiliki pedoman tentang ‘A safe cybersecurity system’ dalam memerangi cyber risk.

Karena kawasan Asia Pasifik terus mengembangkan app-voution-nya, pemerintah di seluruh wilayah ini akan menetapkan regulasi (undang-undang) kepatuhan baru ke dalam sistem perundang-undangan yang sudah ada--mulai dari UU Cybersecurity di Singapura hingga Strategi Cybersecurity di Australia.

Sedangkan di Indonesia, baru ada Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE), Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN) yang baru dibentuk serta Unit Cybercrime yang ada di kepolisian.

Ketahanan siber melibatkan semua karyawan dan penting bagi mereka untuk memahami pentingnya perlindungan data dan peran yang mereka mainkan dalam strategi cybersecurity di perusahaan mereka.

Mengembangkan Bakat

Meskipun perusahaan di Asia terus berinovasi dan berevolusi agar tetap relevan dan eksis dalam lanskap yang semakin kompetitif saat ini, keahlian di bidang keamanan masih tetap langka.

Menurut laporan State of Application Delivery (SOAD) 2017, sekitar 77 persen responden di Asia Pasifik menganggap bahwa postur keamanan perusahaan mereka masih terkena dampak negatif akibat minimnya pengembang aplikasi yang terampil dan/atau berkualitas.

Selanjutnya, sebuah studi tahun 2016 oleh Robert Half menemukan bahwa lebih dari 85 persen CIO Singapura mengantisipasi lebih banyak ancaman keamanan siber dalam lima tahun ke depan karena masih belum ada ahli keamanan IT yang mumpuni .

Hal ini jauh di atas 78 persen atau rata-rata global. Kondisi ini dapat dikaitkan dengan fakta bahwa industri akan memerlukan keterampilan adaptif karena keamanan siber berkembang di berbagai bidang, seperti kelas data dan tata kelola data.

India menghadapi permasalahan yang sama dengan kesenjangan bakat IT meskipun anggaran IT-nya naik hampir lima kali lebih cepat dibandingkan rata-rata global, dengan keterampilan dan sumber daya yang melampaui daftar kekhawatiran sebesar 21 persen.

Tidak ada yang dapat memprediksi secara pasti. Namun, yang pasti app-vancement di Asia akan terjadi. Saat memasuki tahun 2018, kita bukan hanya perlu memiliki teknologi yang tepat untuk meningkatkan dan mengamankan aplikasi end-user, tapi juga bagaimana membangun budaya yang tepat dalam perusahaan--Go Faster, Safer, and Smarter (lebih cepat, lebih aman, dan lebih cerdas).

(Isk)

Saksikan Video Pilihan Berikut Ini

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.