Sukses

Selamat Ulang Tahun Steve Jobs, Ini 5 Nasihatnya Bagi Para Pemuda

Liputan6.com, Jakarta - Hampir tujuh tahun setelah kematiannya, Steve Jobs tetap punya pengaruh di industri teknologi.

Sebetulnya, Jobs terkenal sebagai bos yang keras bahkan egois. Namun, kisah hidup pria kelahiran San Francisco, Amerika Serikat (AS) itu menginspirasi banyak pemuda yang ingin berinovasi di dunia teknologi.

Pada 12 Juni 2005, Steve Jobs datang ke Universitas Stanford di California untuk memberikan pidato bagi para wisudawan.

Di sana, dengan gaya monoton, sang pendiri Apple menyampaikan kisahnya pada seluruh dunia.

Lewat pidatonya, ia menceritakan berbagai macam kisah menarik. Mulai dari saat ia keluar dari universitas, mencari makanan gratis, ketika ia harus tidur di lantai, sewaktu ia seringkali gagal, sampai rasa takutnya saat kena kanker.

Pada kenyataannya, asam garam dalam hidup Jobs menjadi sebuah inspirasi bagi mereka yang masih takut untuk meraih impiannya.

Untuk memperingati hari kelahiran sang inovator pada 24 Februari 1951, Tekno Liputan6.com merangkum pesan-pesan dari pidato Steve Jobs di Universitas Stanford. 

 

 

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 6 halaman

1. Genggam Erat Kepercayaan, Bukan Rasa Takut

Di awal pidatonya, Steve Jobs menekankan betapa pentingnya mengikuti kata hati, walau pada saat itu mungkin masih tidak jelas hati kita akan membawa kita ke mana.

Semasa muda, Jobs tidak suka dengan mata kuliah wajib yang ia harus ikuti, akhirnya ia memilih keluar saja agar bisa belajar hal-hal yang disukai.

Kala itu, hidup Jobs mengenaskan. Ia tidak punya kamar di kampus, ia terpaksa harus tidur di lantai kamar kawannya, serta rela berjalan jauh demi mendapat makanan gratis di sebuah kuil.

Lantas apa yang dikerjakan Jobs? Ia malah memutuskan ikut kelas kaligrafi semata-mata karena suka keindahannya, padahal ia sadar kelas kaligrafi tidaklah praktis sebagai bekal karir.

Namun takdir ternyata punya rencana lain untuk Jobs. 10 tahun kemudian, saat pertama kali merancang komputer Macintosh, pengetahuan kaligrafinya menjadi berguna.

Berkat kelas kaligrafi yang awalnya terkesan tidak berguna, Jobs jadi paham cara mengatur fonts dan tipografi komputer yang indah.

Jobs mengatakan, "Kau harus percaya bahwa titik-titik (dalam hidup) pasti akan terhubung di masa depan. Kau harus percaya pada sesuatu, dorongan hati, takdir, kehidupan, karma, apapun. Cara ini tidak pernah mengecewakanku, dan telah membuat banyak perbedaan dalam hidup saya."

3 dari 6 halaman

2. Kegagalan Hanyalah Awal yang Baru

Pada usia 20 tahun, Jobs dan sahabatnya Steve Wozniak memulai Apple di garasi orang tua Jobs.

Dimulai kerja di garasi, mereka membangun perusahaan yang pada akhirnya senilai 2 triliun dolar serta mempekerjakan 4.000 karyawan.

Kemudian Steve Jobs dipecat. Saat itu ia menginjak usia 30 tahun. Ia dipecat karena jajaran eksekutif di Apple tidak setuju pada Jobs, dan lebih membela orang lain yang justru Jobs pekerjakan. 10 tahun usaha pun hilang begitu saja.

Meski mental Jobs sempat down, ia  sadar bahwa ia masih mencintai dunia teknologi, lalu memutuskan untuk memulai kembali dari nol.

Setelahnya, mendirikan perusahaan bernama NeXT dan ia membeli perusahaan bernama Graphics Group.

NeXT ternyata sukses besar, lalu Apple membeli NeXT, akibatnya Jobs kembali lagi sebagai petinggi Apple.

Bagaimana dengan Graphics Group? Mungkin tidak ada yang akrab dengan nama tersebut. Tapi apa kamu pernah menonton Toy Story? Finding Nemo? Up? Atau Coco?

Ya, itulah film-film besutan Graphics Group, yang sekarang bernama Pixar.

Kegagalan Steve Jobs di usianya yang kepala tiga berubah menjadi kesuksesan karena ia memilih terus mencintai pekerjaannya ketimbang menyerah.

"Saya yakin semua ini tidak akan terjadi bila saya tidak dipecat dari Apple. Hal itu adalah obat yang pahit, tapi kurasa sang pasien membutuhkannya. Terkadang kehidupan memukul kepalamu dengan batu bata. Jangan hilang kepercayaan. Saya yakin satu-satunya hal yang membuatku terus berjuang adalah kecintaanku pada pekerjaanku. Kau harus menemukan apa yang kau cintai," ucap Jobs.

4 dari 6 halaman

3. Ingat Kematian

Saat ia berusia 17 tahun, Steve Jobs membaca kutipan tentang kematian, setelahnya ia selalu berpikir, "Jika hari ini adalah hari terakhir dalam hidup saya, maukah aku melakukan sesuatu yang ingin kulakukan hari ini?"

Karena selalu mengingat hal tersebut, Jobs sadar bahwa segala ekspektasi, takut malu, takut gagal, hal-hal itu akan lenyap di hadapan kematian, dan hanya hal terpenting yang tersisa.

Setahun sebelum memberikan pidato di Stanford, Jobs didiagnosis kanker. Kata, dokter ia hanya dapat hidup maksimal enam bulan (Jobs meninggal sekitar enam tahun kemudian pada Oktober 2011).

"Tidak ada yang ingin mati. Bahkan orang-orang yang mau pergi ke surga tidak mau mati untuk sampai ke sana," ujar Jobs dalam pidatonya.

Meski begitu, Jobs tidak takut. Ia malah mengatakan bahwa kematian adalah hal yang baik.

Dengan ingat mati, Jobs menjadi tidak takut kehilangan. Dan hal itu membuat berani terus mengikuti kata hatinya dan tidak gampang terpengaruhi hal-hal eksternal yang tidak penting.

5 dari 6 halaman

4. Jangan Tenggelam dalam Opini Orang Lain

Dan inilah petuah terbaik dari Steve Jobs untuk mereka yang masih ragu mengejar impiannya.

Meski Jobs sudah meninggal, nasihatnya ini akan terus menggema di seluruh dunia.

"Waktumu terbatas, jadi jangan menyia-nyiakannya untuk hidup di kehidupan orang lain. Jangan sampai terjebak dogma, yang merupakan hasil dari hidup di dalam pemikiran orang lain. Jangan membiarkan berisiknya opini orang lain menenggelamkan suara hatimu. Dan yang terpenting, miliki keberanian untuk mengikuti hati dan intuisimu. Kedua hal itu sudah tahu apa sesungguhnya cita-citamu."
6 dari 6 halaman

5. Jangan Lupa untuk Terus Sederhana

Sewaktu muda, Steve Jobs terpesona dengan The Whole Earth Catalog, sebuah majalah tentang tips-tips berguna dalam kehidupan, Jobs menganggapnya sebagai Google pada masanya.

Di publikasi terakhir majalah itu, Jobs melihat kata-kata yang menjadi acuan dalam hidupnya agar terus belajar dan tidak berpuas diri.

Pada pidatonya, Jobs mengenang majalah tersebut:

"Di sampul belakang di terbitan final mereka adalah sebuah foto jalanan pedesaan saat fajar, sisi jalan yang mungkin di mana kau akan mencari tumpangan bila kau merasa berpetualang."

Di bawah foto itu ada tulisan:

"Teruslah Lapar. Teruslah Bodoh." Itulah pesan selamat tinggal mereka. Teruslah Lapar. Teruslah Bodoh. Dan aku selalu menginginkannya untuk diriku. Dan sekarang, sebagaimana kau lulus untuk memulai yang baru, aku mengingkan hal itu untukmu. Teruslah Lapar. Teruslah Bodoh. Terima kasih banyak untuk kalian semua."

Demikian Jobs menutup pidatonya.

(Tom/Jek)

Saksikan Video Pilihan Berikut Ini:

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.