Sukses

Konsumen Beli Ponsel Supercopy Karena Harga Diri?

Peredaran smartphone supercopy alias replika di Indonesia semakin marak. Tak sedikit konsumen yang membelinya hanya untuk prestise semata.

Liputan6.com, Jakarta - Peredaran smartphone supercopy alias replika di Indonesia semakin marak. Bahkan tak sedikit konsumen yang berminat untuk membelinya hanya demi prestise semata. Bahkan sebagian dari mereka ada yang sudah tahu bahwa itu adalah produk replika, namun tetap saja membelinya.

Salah satu pembeli ponsel supercopy yang kami wawancarai adalah Rudi. Pria 26 tahun itu mengaku membeli ponsel replika Samsung Galaxy Note 2 dengan harga Rp 2,1 juta rupiah. Vendor Samsung resmi menjual Galaxy Note 2 seharga Rp 5,9 juta, sementara harga bekasnya sekitar Rp 4,7 juta.  

"Saya beli ponsel replika Samsung Galaxy Note 2 melalui forum jual beli online. Saya memutuskan untuk beli karena hampir mirip dengan versi aslinya dan bisa dipakai buat bergaya. Hanya saja, ada beberapa fitur yang memang cuma bisa dipakai di ponsel versi orisinal," ujar Rudi kepada tim Tekno Liputan6.com di salah satu pusat perbelanjaan di Jakarta Timur, Senin malam (2/6/2014).

Bukan itu saja, ia bahkan sudah tahu kalau ponsel yang dibelinya tidak ada garansi. "Ponsel yang saya beli tidak ada garansi. Jadi kalau sudah rusak akan jadi barang rongsok. Tapi, ponsel replika saya sudah setahun ini masih awet, cuma baterainya saja yang sudah drop," akunya.

Menurut pakar branding Silih Agung Wasesa, peredaran ponsel supercopy tidak bisa dipisahkan dari pertumbuhan gaya hidup masyarakat dalam menggunakan perangkat berteknologi canggih. Terlebih Indonesia dikenal sebagai salah satu negara dengan daya konsumtif yang cukup tinggi.

"Masyarakat Indonesia dikenal memiliki konsumtif yang tinggi. Konsumen ponsel supercopy umumnya diminati masyarakat kalangan menengah ke bawah atau kondisi finansial yang pas-pasan, tapi menginginkan sesuatu di luar kemampuannya," kata Agung yang kami hubungi melalui saluran telepon.   

Agung memaparkan, kebanyakan dari mereka yang memberi produk replika butuh pengakuan diri dan ingin dipandang mampu. "Hal itu ada sangkut pautnya dengan harga diri. Mereka yang membeli produk replika dan butuh pengakuan diri mencerminkan harga diri yang rendah," tambah Agung.

Untuk itu Agung menyarankan kepada konsumen untuk mulai mengukur kemampuan diri tatkala ingin membeli sesuatu. Terlebih, barang ilegal tidak menyumbang apa pun terhadap pertumbuhan ekonomi masyarakat. Bahkan negara justru dirugikan karena tidak dapat pajak.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

Video Terkini