Sukses

Mengenal Telegram, Layanan Chatting yang Diblokir Kemkominfo

Meski pemblokirannya menuai beragam respons, ternyata tak banyak yang sebenarnya mengetahui apa itu Telegram.

Liputan6.com, Jakarta - Dalam beberapa hari terakhir, Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemkominfo) tengah menjadi sorotan publik. Alasannya, kementerian yang dipimpin oleh Rudiantara itu memblokir salah satu layanan chatting kenamaan, yakni Telegram.

Meski hanya versi web yang diblokir, keputusan itu nyatanya tetap menuai beragam respons. Ada pihak yang menolak tapi tak sedikit pula yang mendukung. Kendati demikian, ternyata belum semua orang mengetahui apa itu Telegram.

Dikutip dari Telegraph, Senin (17/7/2017), Telegram adalah aplikasi chatting yang kerap disebut-sebut sebagai pesaing berat WhatsApp saat pertama kali muncul. Hal itu bukannya tanpa alasan karena tampilan dan fitur kedua aplikasi itu memang begitu mirip.

Namun sejak awal, Telegram hadir dengan menawarkan keamanan sebagai fitur unggulan karena dibekali end-to-end encryption. Tak hanya itu, aplikasi ini juga menawarkan fitur seperti self-destructing message dan secret chat.

"Telegram adalah aplikasi chatting tercepat dan paling aman yang berada di dunia," klaim perusahaan. Adapun aplikasi ini dikembangkan oleh kakak beradik asal Rusia, yakni Nikolai dan Pavel Durov. 

Lantas, mengapa Telegram begitu menjunjung fitur keamanan dan privasi pengguna? Ternyata, Pavel Durov menuturkan Telegram awalnya memang dibuat untuk mencegah penyadapan dari pihak Rusia.

"Alasan pertama saya meluncurkan Telegram untuk membangun komunikasi yang tak dapat diakses agensi keamanan Rusia," ujarnya. Uniknya, tak banyak pula yang mengetahui pula bahwa aplikasi ini sebenarnya dikembangkan Durov bersaudara di Berlin, Jerman.

Sejak meluncur pada 2013, Telegram pun berkembang dengan cepat. Pertumbuhan pengguna dilaporkan cukup signifikan tiap tahun. Hal itu tak lepas dari kebebasan yang ditawarkan bagi pengembang untuk membuat client Telegramnya sendiri.

Sama seperti WhatsApp, aplikasi ini juga memastikan layanannya tak akan menarik biaya dari pengguna atau menjual iklan. Oleh karena itu, jika memang Telegram bangkrut, perusahaan lebih memilih untuk mengumpulkan donasi dari para pengguna.

Namun, di balik fitur keamanan yang ditawarkan, hal itu ternyata menjadi bumerang tersendiri bagi Telegram. Lambat laun, aplikasi ini banyak digunakan kelompok teroris untuk berkomunikasi. 

Profesor dari Universitas Haifa, Gabriel Weimann, menyebut tren penggunaan Telegram ternyata dilakukan hampir seluruh kelompok teroris di seluruh dunia. Akibatnya, sejumlah negara pun membatasi penggunaan layanan ini. 

(Dam/Ysl)

Tonton Video Menarik Berikut Ini: 

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.