Sukses

Soal Perpajakan Online, Indonesia Bisa Berkaca ke Meksiko

Indonesia dapat belajar dari Meksiko yang membangun infrastruktur, yang mampu menunjang sistem perpajakan secara online dengan baik.

Liputan6.com, Jakarta - Beberapa hari di pekan terakhir bulan Maret situs web Direktorat Jenderal Pajak (Dirjen Pajak) Kementerian Keuangan dikeluhkan oleh masyarakat Indonesia yang merupakan wajib pajak.

Melalui situs web tersebut, mereka bermaksud untuk melaporkan Surat Pemberitahuan Tahunan (SPT) secara online. Langkah ini dinilai lebih praktis ketimbang harus datang ke kantor pajak yang ditentukan atau mengirimkan berkas-berkas ke kantor pajak lewat jasa kurir.

Namun sayangnya, situs web Dirjen Pajak mengalami down. Diduga, situs web Dirjen Pajak tidak mampu menangani kunjungan masuk yang meningkat secara drastis.

Hal ini rupanya menarik perhatian Tony Seno Hartono, National Technology Officer Microsoft Indonesia. Dalam presentasi mengenai teknologi cloud, Kamis kemarin (31/3/2016) di kantor Microsoft Indonesia, kawasan SCBD, Jakarta, Tony memaparkan bagaimana Meksiko membangun infrastruktur yang mampu menunjang sistem perpajakan online.

"Ceritanya Meksiko menargetkan pendapatan negara dari pajak dalam jumlah besar. Nah, mereka memikirkan bagaimana cara yang terbaik sampai akhirnya mereka memutuskan untuk bikin infrastruktur pajak online," ujar Tony mengawali ceritanya.

Meksiko membuka tender untuk pengadaan infrastruktur sistem perpajakan online. Kala itu, ada sejumlah perusahaan yang mengikuti tender tersebut.

"Singkat cerita, ada tawaran membuat infrastruktur dengan total CapEx (Capital Expenditure; belanja modal, red.) US$ 100 juta dan ada tawaran membuat infrastruktur dengan total OpEx (Operational Expenditure; belanja operasional, red.) US$ 40 ribu per tahun," kata Tony melanjutkan.

Diungkapkannya, pemerintah Meksiko pun menimbang-nimbang kedua tawaran itu. Setelah dipertimbangkan, meski hanya dikeluarkan di awal, CapEX senilai US$ 100 juta itu ternyata juga akan diikuti oleh OpEx yang tidak jauh berbeda dengan OpEx yang senilai US$ 40 ribu per tahun. Nah, infrastruktur dengan OpEx senilai US$ 40 ribu per tahun itu adalah infrastruktur yang telah memanfaatkan teknologi cloud.

"CapEx US$ 100 juta itu untuk bangun data center dan sebagainya. Nah, biaya operasional dan perawatan data center itu bakal berapa per tahunnya? Kalau dihitung-hitung kan ternyata sama dengan OpEx US$ 40 ribu per tahun untuk teknologi cloud," tutur Tony menambahkan.

Cloud sendiri dinilai lebih 'canggih' daripada teknologi konvensional seperti server fisik karena cloud mempunyai fleksibilitas tinggi dalam menangani permintaan (request), misalnya dalam hal ini akses terhadap sebuah situs web. Karena itu, kemungkinan untuk mengalami down sangat kecil bahkan tidak ada.

"Kalau saja sistem perpajakan online kita sudah adopsi cloud, kasus down kaya kemarin itu gak bakal kejadian," tutur Tony.

Selain itu, jika dibandingkan dengan teknologi konvensional seperti server fisik yang disimpan di sebuah ruangan khusus, cloud memiliki sejumlah kelebihan. Pertama, cloud tidak memerlukan ruangan besar, sehingga cocok bagi UKM atau perusahaan.

Kemudian yang kedua, cloud tidak memerlukan ruang server khusus. Terakhir, ketika sebuah UKM atau perusahaan menggunakan cloud, mereka hanya membayar apa yang digunakan oleh mereka. 

(Why/Isk)

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

Video Terkini